Berlebaran di Belakang Padang (Batam), Puanasss tapi Seru…

Belakang Padang, sebuah pulau dan juga sebuah kecamatan yang merupakan bagian dari kota Batam. Terletak di sebelah barat laut pulau Batam, pulau Belakang Padang menghadap langsung ke Singapura. Dari pulau bisa kita lihat dengan jelas gedung-gedung pencakar langit di Singapura dan juga kapal-kapal yang lalu lalang di selat Singapura.

Belakang Padang

Belakang Padang

Belakang Padang

Belakang Padang

Belakang Padang mempunyai TagLine “Pulau Penawar Rindu“, yang kira-kira artinya adalah pulau yang akan selalu menimbulkan kerinduan bagi yang pernah singgah, sehingga jika datang kembali ke Belakang Padang akan terobatilah kerinduan tersebut. Terutama bagi pendatang di kota Batam yang jauh dari kota asalnya maka jika datang ke pulau ini akan serasa “hidup” di kampung halaman, karena selain budaya melayu, di Belakang Padang juga terdapat Kampung Jawa yang sebagian besar dihuni oleh orang-orang Jawa dan keturunannya serta Kampung Bugis yang terkenal dengan pelautnya.

Pulau Penawar Rindu

Pulau Penawar Rindu

Saat hari Lebaran, Belakang Padang “berubah” menjadi layaknya kampung melayu yang dipenuhi dengan orang-orang dengan baju melayu. Yups, mayoritas penduduk pulau ini memang masih kental dengan budaya dan adat melayu. Jika tidak mudik ke Jogja, saya selalu berlebaran di pulau ini, soalnya keluarga istri saya yang asli Batam memang tinggal di pulau Belakang Padang ini, tepatnya di kampung Bugis.

Untuk menuju ke Belakang Padang dari Batam, kami sekeluarga harus naik Pancung atau Pompong yaitu kapal kayu yang dilengkapi dengan motor sebagai penggeraknya yang biasanya bisa dimuati 15 hingga 20 orang. Per orang dikenai biaya 13 ribu rupiah untuk hari biasa dan 15 ribu rupiah untuk hari lebaran (CMIIW) untuk satu trip dari Batam ke Belakang Padang atau sebaliknya. Namun karena kami sekeluarga ada 8 orang, kami memilih menyewa satu pancung untuk bisa langsung menuju belakang rumah nenek, alias tidak perlu turun di pelabuhan pancung. Rumah-rumah di kampung Bugis memang berdiri di atas laut yang dihubungkan dengan pelantar-pelantar kayu, sehingga kita bisa langsung naik/turun pancung dari belakang rumah. Selain itu pemandangan di belakang rumah langsung berhadapan dengan laut lepas… sehingga bener-bener wow, serasa di resort-resort pinggir laut :mrgreen:

Rumah-rumah di Kampung Bugis Belakang Padang

Rumah-rumah di Kampung Bugis Belakang Padang

View di Belakang Rumah

View di Belakang Rumah

Biaya sewa pancung hanya 150 ribu rupiah sekali jalan. Kalau dihitung-hitung biayanya hampir sama dengan jika turun di pelabuhan, bahkan bisa lebih murah :mrgreen: . Hitungannya seperti ini:

Jika turun di pelabuhan (8 orang), maka :

  • Tiket Pancung = 8 x 15 ribu = 120 ribu
  • Biaya Becak dari pelabuhan ke kampung Bugis = 4 x 15 ribu = 60 ribu (1 becak untuk 2 orang), kadang-kadang bisa 20 ribu per becak saat lebaran
  • Jika menggunakan ojek = 8 x 10 ribu = 80 ribu
  • Total malah lebih dari 150 ribu dengan waktu tempuh sekitar 30 menit

Bandingkan jika langsung sewa 1 pancung yang “cuma” 150 ribu rupiah. Sudah lebih murah, tidak penuh sesak, lebih cepat pula, hanya sekitar 15 menit saja dan langsung turun di belakang rumah 😀

Kata Becak, saya buat tebal dan underline diatas. Kenapa? Betoel… transportasi utama di pulau ini hanyalah Pancung (untuk di lautnya), becak dan motor untuk di daratnya. Sepeda onthel pun jarang kita temui. Paling asyik memang kalau kita berkeliling di pulau ini menggunakan becak, benar-benar serasa di Jogja… di luar udara panasnya yang amat menyengat :mrgreen: . Tidak ada mobil di pulau ini, kecuali 3 mobil yaitu mobil sampah, mobil ambulance dan mobil jenazah :mrgreen: . Jadi jangan berharap untuk naik mobil di pulau ini, kecuali… (isi sendiri dah) 😀

Becak Belakang Padang

Becak Belakang Padang (Pict : http://visitbelakangpadang.wordpress.com/)

Jalanan Pulau Belakang Padang

Jalanan Pulau Belakang Padang

Saat Lebaran, kami biasanya berkeliling ke tempat saudara dengan berjalan kaki, kadang juga naik motor walaupun lebih sering berjalan kaki. Berjalan melewati pelantar-pelantar dari kayu di atas laut seperti berada di suatu desa nelayan di pedalaman. Asyik dan seru…karena kita harus ekstra hati-hati melewatinya, apalagi jika kayu-kayu pelantar tersebut sudah lapuk. Tapi buat anak saya Naya yang masih 3,5 tahun, seakan tanpa takut melewatinya, bahkan sampai lari-larian… 🙂

Pelantar di Belakang Padang

Pelantar di Belakang Padang

Anak saya berjalan di pelantar

Anak saya berjalan & bermain di pelantar

Sayangnya untuk kampung Bugis, air untuk kehidupan sehari-hari masih mengandalkan air hujan yang ditampung di bak-bak atapun drum sehingga jika lama tidak hujan kita harus membeli air ini. Cukup mahal harganya, kalau tidak salah 20 ribu per drum 😦 . Karena inilah kami tidak pernah menginap ketika Lebaran di Belakang Padang, selain repot dengan sedikitnya air juga untuk tidak membebani keluarga di Belakang Padang. Semoga pipa air dari Batam ke Belakang Padang segera terwujud agar kesulitan air seperti ini bisa segera teratasi…padahal Belakang Padang merupakan cikal bakal kota Batam saat ini.

 

Related Post

7 comments on “Berlebaran di Belakang Padang (Batam), Puanasss tapi Seru…

  1. widih dah 10 tahun gak ke belakang padang,pertama kali kirain belakang padang tuh di belakang padang sumbar eh ternyata di sini
    2.waktu itu kalo gk salah harganya gk nyape 10 rb
    3 pernah ke singapur naik sindo queen star 3 yg laju dan ombak belakang tinggi bikin kapal panyung oleng mau terbalik
    4.susaananya belum berubah cuma dalamnya aja tapi luarnya masih sederhana
    5.kalo malam tuh belakang padang keliatan kecil lampu dan gelap jadi ngeri kalo naik ferry malam malam

Monggo, silakan dikomeng atau dicaci maki...gratis ^_^

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.